09 August 2019
Perjalanan Kurikulum Pendidikan di Indonesia
Perjalanan Kurikulum Pendidikan di Indonesia
Ketika kita membicarakan tentang kualitas pendidikan, tentunya salah satu hal pertanya yang datang ke benak kita adalah tentang kurikulum pendidikan. Kurikulum menjadi sebuah fondasi yang menentukan segala proses dan output dari sistem pendidikan di suatu negara.
Apa itu kurikulum?
Jika kita definisikan secara singkat, kurikulum adalah serangkaian perangkat mata pelajaran yang dilaksanakan pada satu tingkat pendidikan. Kalau kita lihat secara etimologis, kurikulum (curriculum) berasal dari bahasa Latin yang berarti “balapan” (race). Kata dasarnya sendiri, currere memiliki makna “lari”. Berarti, secara filosofis dapat kita simpulkan bahwa kurikulum itu sendiri adalah serangkaian jalan (proses), yang harus dilewati untuk mencapai garis finish (hasil). Bukan hanya jalan yang harus dilalui saja, tapi penetapan garis awal dan garis akhir harus ditentukan secara jelas terlebih dahulu.
Di Republik Indonesia, berbagai kurikulum pendidikan telah dicanangkan oleh pemerintah untuk membentuk generasi-generasi pembangun bangsa sejak deklarasi kemerdekaan. Namun, sejauh mana kurikulum-kurikulum tersebut memberi kontribusi bagi perkembangan manusia? Mari kita simak sekilas perjalanan kurikulum pendidikan di Indonesia.
Kurikulum 1947 (Rencana Pelajaran 1947)
Kurikulum yang pertama kali diterbitkan sejak deklarasi kemerdekaan. Kurikulum ini mulai mengimplementasikan nilai-nilai dari Pancasila sebagai ideologi bangsa. Dari segi pedagogis, kurikulum yang lebih dikenal sebagai rencana pelajaran (leer plan) 1947 ini masih meneruskan konsep dari era kolonial Belanda dan pendudukan Jepang. Meski direncanakan pada tahun 1947, kurikulum ini mulai dilaksanakan secara resmi pada tahun 1950.
Kurikulum 1952 (Rencana Pelajaran Terurai 1952)
Kurikulum ini merupakan penyempurnaan dari rencana pelajaran 1947. Penyempurnaan yang dilakukan adalah perincian materi dan jam pelajaran. Pada kurikulum ini, seorang guru ditetapkan untuk mengajar satu mata pelajaran saja. Ciri dari kurikulum ini juga adanya korelasi antara mata pelajaran dengan kehidupan sehari-hari.
Kurikulum 1964 (Rencana Pendidikan 1964)
Kurikulum ini menitikberatkan kompetensi akademik pada siswa di pendidikan dasar (SD). Kurikulum ini juga dikenal dengan program yang bernama Pancawardhana, yang merupakan pengembangan pada 5 aspek, yaitu moral, kecerdasan emosional, kecerdasan artistik, keprigelan (keterampilan), dan jasmaniah. Kelima pengembangan tersebut juga ditetapkan sebagai 5 kategori bidang studi, dengan orientasi fungsional & praktikalitas dari setiap mata pelajaran.
Kurikulum 1968
Kurikulum ini sarat dengan muatan politis, karena diterbitkan untuk menggantikan kurikulum 1964 yang dinilai sebagai produk orde lama oleh pemerintah baru pada saat itu. Kurikulum ini mengganti program Pancawardhana menjadi program yang berorientasi pada Pancasila dan UUD 1945. Fokus pada kurikulum ini berada di 3 aspek, yaitu Pancasila, pengetahuan dasar, dan kecakapan khusus. Pengelompokan bidang studi dikembangkan dari 5 kelompok menjadi 9 kelompok.
Kurikulum 1975
Kurikulum ini mengedepankan efisiensi dan efektivitas pengajaran, dengan basis MBO (Management By Objective) yang sedang booming di era itu. Kurikulum ini merinci metode, materi, serta tujuan pengajaran dalam bentuk Prosedur Pengembangan Sistem Instruksional (PPSI). PPSI merinci secara detil satuan bahasan dari setiap mata pelajaran, yang dibagi menjadi Tujuan Instruksional Umum (TIU) dan Tujuan Instruksional Khusus (TIK). Di kurikulum ini, energi dan waktu para tenaga pengajar mulai tersita oleh pemenuhan kebutuhan administratif yang detil.
Kurikulum 1984 (Kurikulum 1975 yang disempurnakan)
Kurikulum ini mengusung model Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA), yaitu model belajar yang menuntut keaktifan siswa sebagai pembelajar. Siswa diperlakukan sebagai subyek belajar, sehingga porsi pengajaran satu arah oleh guru dikurangi secara signifikan. Meski nampak ideal di atas kertas, bahkan sukses diterapkan di beberapa sekolah, kenyataannya banyak sekolah pada saat itu yang belum memiliki kesiapan untuk melaksanakan model CBSA.
Kurikulum 1994 + Suplemen kurikulum 1999
Kurikulum ini memadukan aspek-aspek dari kurikulum 1975 dan 1984. Kurikulum ini juga mengelompokkan mata pelajaran ke dalam 2 jenis muatan, yaitu muatan nasional, dan muatan lokal. Muatan nasional adalah kelompok mata pelajaran wajib yang diajarkan di seluruh Indonesia, sedangkan muatan lokal adalah kelompok mata pelajaran spesifik yang diajarkan di tingkat regional. Kurikulum ini memiliki mata pelajaran dan jam belajar yang terlalu banyak, sehingga nampak sangat padat. Kurikulum ini juga mengubah sistem pembagian waktu pembelajaran dari sistem semester (per 6 bulan) ke sistem caturwulan (per 4 bulan). Pada tahun 1999, kurikulum ini mendapatkan revisi dalm bentuk suplemen (penambahan). Namun, suplemen yang dijalankan hanya sebatas penyesuaian atas transisi reformasi politik yang terjadi di 1998.
Kurikulum 2004 (Kurikulum Berbasis Kompetensi)
Kurikulum ini menitikberatkan pada ketercapaian kompetensi siswa, baik secara individual maupun klasikal. Pada kurikulum ini, sumber pembelajaran bukan hanya berasal dari guru dan buku, tapi juga dari sumber belajar lain yang relevan, bahkan bisa juga berasal dari luar ruang kelas. Kurikulum ini sangat berorientasi pada hasil dan pencapaian sebagai tolok ukur capaian kompetensi. Sistem pembagian waktu pada kurikulum ini dikembalikan menjadi sistem semester, dari sistem caturwulan pada kurikulum sebelumnya.
Kurikulum 2006 (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan)
Kurikulum ini adalah penyempurnaan dari kurikulum 2004. Hal yang paling menonjol dari kurikulum 2006 adalah adanya desentralisasi pendidikan. Jika sebelumnya silabus pendidikan sama rata di Indonesia, di kurikulum ini sekolah bisa melakukan penyesuaian terhadap silabusnya sendiri. Penyesuaian yang dilakukan di tingkat regional/lokal harus tetap mengacu pada sebuah standar nasional yang dinamakan Standar Nasional Pendidikan.
Kurikulum 2013 + Kurikulum 2013 Revisi
Kurikulum ini lahir atas pertimbangan standarisasi kualitas pembelajaran di Indonesia di dunia internasional. Penilaian terhadap kemampuan siswa pada aspek membaca, sains, dan matematika menjadi fokus utama dalam pembuatan kurikulum ini, dan acuan terhadap standar-standar tersebut mulai disesuaikan dengan standar-standar internasional seperti PISA (Programme for International Student Assessment) dan TIMSS (Trends in International Mathematics & Science Study).
Kurikulum ini juga melaksanakan kegiatan pendidikan yang tematik di level pendidikan dasar. Beberapa mata pelajaran dilebur dan diintegrasikan menjadi rangkaian-rangkaian pembelajaran yang tematik. Sistem penilaiannya pun berubah menjadi skala 1-4 dan skala huruf. Meski nampak memiliki orientasi ilmiah dan saintifik, ironisnya kurikulum ini sarat dengan aspek moral dan spiritual sebagai penilaiannya. Pada tahun 2016, kurikulum ini mendapatkan revisi. Perubahan yang paling nampak adalah adanya reduksi penilaian aspek moral dan spiritual pada tiap mata pelajaran, sehingga aspek-aspek tersebut hanya menjadi penilaian pada mata pelajaran Pendidikan Agama, Budi Pekerti, serta Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan.
Apa dampak dari sekian banyak perubahan kurikulum dalam waktu singkat?
Sebagai negara dengan ratusan budaya, suku, bahasa, dan identitas, menetapkan sebuah kurikulum yang dapat memberikan kemajuan yang signifikan bagi semua golongan tidaklah mudah. Meski belum genap berdiri selama 100 tahun, Indonesia sudah banyak sekali melakukan perubahan kurikulum. Jika kita telaah, sebagian dari perubahan tersebut sebenarnya hanya bersifat politis. Seringkali perubahan yang terjadi adalah sekadar pemenuhan ambisi para elit politik. Misalnya, pada masa Orde Baru, kurikulum mata pelajaran Sejarah tampak sebelah pihak terhadap ideologi Komunisme. Hal ini sangat terlihat jelas pada narasi dan depiksi peristiwa G30S/PKI. Efeknya, hingga detik ini pun masih banyak masyarakat yang sebenarnya tidak paham bahwa Komunisme adalah sebuah ideologi sosial, politik, dan budaya, bukan keyakinan.
Lalu apa saja dampak fundamentalnya? Pertama, jika kita terlalu sering mengganti kurikulum, sistem pendidikan kita tidak akan memiliki standar yang jelas. Dari masa ke masa, sistem yang dilaksanakan selalu mengalami perubahan fundamental. Jika kita menggunakan analogi dari etimologi kata kurikulum di atas, bagaimana kita bisa mencapai garis finish jika penentuan garisnya saja selalu berubah-ubah? Apa yang mau dikejar? Moral? Karakter? Ilmu? Keahlian? Ketika kurikulum 2013 pertama kali disosialisasikan, saya sangat terkejut melihat adanya penilaian moral dan spiritual di semua mata pelajaran. Bagaimana cara menilai kompetensi spiritual siswa di mata pelajaran IPA? Padahal jelas mata pelajaran tersebut membutuhkan penalaran sebagai persyaratan dalam penguasaan ilmu, tapi mengapa malah salah satu kriteria penilaiannya menyebutkan pemahaman spiritualitas?
Kedua, pemerataan kualitas. Meski anggaran pendidikan Indonesia mencapai angka 20%, kualitas infrastruktur pendidikan masih jauh dari ideal. Tidak hanya sarana fisik seperti gedung dan buku pelajaran, kualitas tenaga pendidik juga masih belum merata. Tidak perlu muluk-muluk dengan standar internasional, banyak tenaga pendidik yang pemahaman kemanusiaannya masih timpang. Ini sangat nampak dengan fakta bahwa sebanyak 63% guru di Indonesia intoleran terhadap pemeluk agama lain. Apa hubungannya dengan kurikulum? Jelas berhubungan karena perubahan-perubahan tersebut tidak memfasilitasi para siswa dan tenaga pendidik dengan pemahaman akan toleransi sebagai komponen dari “the bigger picture“. Pada akhirnya, intoleransi akan menghambat pembangunan kebudayaan dan kemanusiaan. Ironis, mengingat negara ini memiliki budaya dan latar belakang yang sangat bervariasi.
Ketiga, kualitas vs. kuantitas. Perubahan kurikulum biasanya dibarengi juga dengan perubahan sistem penilaian. Ketika guru dan murid harus menyesuaikan diri terhadap perubahan sistem penilaian, fokus mereka terbatas pada kuantitas semata. Proses penilaian, capaian penilaian, dan hasil penilaian menjadi atensi utama mereka ketimbang esensi dan substansi dari masing-masing mata pelajaran. Selama saya berada di dunia pendidikan formal pun, baik guru, orang tua, maupun siswa, semuanya hanya terfokus pada nilai dan persyaratan administratif. Orang tualebih melihat nilai siswa ketimbang pemahaman dan pengembangan keahlian. Siswa lebih fokus mengejar nilai sebagai syarat. Guru pun sibuk menyelesaikan tugas administrasi yang terlalu kompleks, sehingga seringkali menghambat kreativitas mereka dalam melaksanakan kegiatan belajar mengajar.
Terlalu panjang jika kita membahas segala kemungkinan yang dapat terjadi akibat perubahan-perubahan kurikulum. Beberapa hal di atas menurut saya sudah cukup untuk kita jadikan bahan untuk berpikir. Jika kita mau coba melihat sisi positifnya, mungkin perubahan-perubahan ini bisa memiliki dampak positif, yaitu melatih kemampuan beradaptasi. Malah, bisa jadi kemampuan beradaptasilah yang sebenarnya menjadi garis finish. Bagaimana menurut anda?